Kata pengantar
Oleh S.BrownKetika pertama kali saya membaca buku ini, saya langsung berpikir "ini harus diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia!" Rakyat Indonesia khususnya terganggu oleh kolektivisme yang disebut demokrasi. Setelah jatuhnya diktator Suharto, harapan untuk perbaikan ("reformasi") dalam bidang politik dan ekonomi besar. Namun, seperti kasus di negara-negara berkembang lainnya seperti Indonesia, demokrasi bekerja jauh kurang baik di sini daripada di negara-negara industri. Akan tetapi karena ada konsensus global pada "kebaikan" demokrasi, hampir tidak ada orang di sini yang mempertanyakan sistem itu sendiri. Komentator politik Indonesia membeo mainstream Barat dalam menyerukan pemerintahan yang lebih baik, bersih dan efisien - yang pada dasarnya berarti meminta peran pemerintah yang lebih besar lagi. Hal ini sangat tragis karena pemerintah dan demokrasi yang menyebabkan semua masalah. Bukanlah individu yang mengisi jajaran birokrasi dan politik yang rusak melainkan sistem itu sendiri yang rusak. 100 tahun yang lalu ahli ekonomi Austria terkenal, Ludwig von Mises, berpendapat bahwa kalau pun birokrat memiliki integritas moral dan kompetensi yang tinggi dia tetap tidak akan dapat menciptakan hasil yang baik untuk semua orang karena dia tidak dapat mengetahui kuantitas dan kualitas pelayanan apa yang dibutuhkan oleh setiap orang. Pemerintah adalah kepura-puraan pengetahuan, pemenang Nobel, Friedrich August von Hayek telah menunjukkannya. Dan pemerintahan demokratis adalah kepura-puraan pemerintahan oleh rakyat.
Mengingat semua permasalahan yang sedang kita lihat di Indonesia – mulai dari korupsi pemerintah yang merajalela, tingginya inflasi, ketimpangan yang tinggi (terutama diciptakan oleh pemerintah melalui inflasi dan kronisme/nepotisme), bermain-main dengan sinyal pasar melalui pengendalian harga, subsidi, proteksionisme untuk kepentingan pribadi dll sampai dengan jalan-jalan milik pemerintah yang macet tak berdaya di Jakarta - sudah saatnya untuk protes terhadap kejahatan pemerintahan demokratis. Alih-alih memerangi korupsi melalui pengurangan kekuasaan negara dan dengan demikian mengurangi kesempatan untuk tindakan korup, jumlah pasal hukum semakin banyak, kekuasaan negara ditingkatkan dan dengan demikian lebih banyak kesempatan bagi praktek korupsi. Alih-alih menendang pemerintah dan kroni-kroninya keluar dari sistem transportasi publik di Jakarta yang mengerikan dan membiarkan perusahaan swasta bersaing satu sama lain untuk mendapatkan dukungan pelanggan dan bukan untuk mendapatkan dukungan pemerintah yang korup, orang memilih seorang gubernur baru dan mengharap bahwa entah bagaimana ia bisa secara ajaib memecahkan masalah dan semuanya akan berubah dengan satu orang ini. Rakyat Indonesia perlu bangun dan menyadari bahwa mereka bermimpi buruk yang disebabkan oleh para elit mereka sendiri yang hanya menyalin model demokrasi Barat yang sudah cacat. Alasan bahwa demokrasi mendukung pembangunan terdengar dangkal bila kita mengingat angka kemiskinan di Indonesia yang 18,7 persen (penduduk yang hidup di bawah $ 1,25 per hari) dan tingkat pengangguran kaum muda sebesar 18 persen, yang enam kali lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata dunia, menurut Worldbank. 53 persen dari pemuda menemukan pekerjaan di sektor informal, di mana mereka sering melakukan pekerjaan keluarga yang tidak dibayar.
Buku yang sedang Anda pegang di tangan atau yang sedang Anda baca di tablet Anda cenderung dapat membantu memicu revolusi. Buku ini menjelaskan demokrasi dengan cara yang sangat sederhana dan logis dan menggunakan contoh-contoh praktis untuk menunjukkan apa itu demokrasi dan mengapa hasil-hasilnya tidak pernah bisa baik. Yang penting juga, dua penulis buku ini menjelaskan bahwa ada alternatif untuk demokrasi - dan itu bukan kediktatoran tapi kebebasan individu. Pembaca akan menyadari bahwa pertahanan kebebasan pribadi ketat ini merusak beberapa tabu sejarah dan sosial di Indonesia. Misalnya, penciptaan dan pemeliharaan negara kesatuan Indonesia telah menyebabkan terlalu banyak kekerasan yang tidak perlu, hanya karena prinsip kebebasan pribadi telah dikorbankan untuk persatuan nasional. Pikirkanlah pembunuhan massal mereka yang diduga komunis oleh pemerintahan anti-komunis pada tahun 1965-1966, penganiayaan minoritas agama masa kini atau penghancuran gerakan separatis daerah. Solusi untuk masalah-masalah ini sebenarnya sangat sederhana: yang ingin hidup dalam masyarakat komunis dimungkinkan untuk melakukannya tanpa memaksa orang lain untuk mengikuti langkah ini, yang ingin menganut agama tertentu dimungkinkan untuk melakukannya tanpa memaksa orang lain untuk mengikuti langkah ini, yang ingin menciptakan komunitas independen mereka sendiri berdasarkan identitas etnis atau regional apa pun dimungkinkan untuk melakukannya tanpa memaksa orang lain untuk mengikutinya. Persaingan ekonomi antara komunitas komunis bebas dan komunitas kapitalis bebas mungkin akan mengakibatkan kepunahan komunitas komunis karena dia tidak akan mampu bersaing – tetapi kejadian ini akan sepenuhnya berjalan damai dan tanpa kekerasan. Indonesia dengan 17.508 pulau, sekitar 300 etnis pribumi yang berbeda dan 742 bahasa dan dialek sangat cocok untuk desentralisasi dan dibagi menjadi banyak komunitas yang independen dan lebih kecil. Kemungkinan penurunan konflik sosial dan kekerasan sangat besar, mengingat bertambahnya jumlah konflik sosial di Indonesia. The Jakarta Post melaporkan pada bulan Februari 2013 bahwa jumlah serangan terhadap kelompok-kelompok minoritas meningkat secara signifikan dari 144 kasus pada tahun 2011 menjadi 264 kasus tahun lalu, menurut data dari Setara Institute.
"Kegagalan Demokrasi" diperkuat oleh penelitian ilmiah tentang akibat-akibat negatif dari demokrasi seperti buku “The God That Failed” (“Tuhan Yang Gagal”) oleh profesor Hans-Hermann Hoppe dan tulisan-tulisan oleh pendiri sekolah Public Choice dan pemenang Nobel, James M. Buchanan, yang sangat kritis – namun tidak anti-demokratis – terhadap demokrasi. Bahkan sekolah tersebut, yang mainstream (diterima oleh kebanyakan peneliti), mengakui kalau pemungutan suara tidak berguna: "Ketidaktahuan pemilih rasional karena biaya mengumpulkan informasi tentang pemilu relatif tinggi dibandingkan dengan manfaat pemungutan suara. Mengapa pemilih repot-repot mencari informasi jika suaranya memiliki pengaruh yang sangat kecil untuk menentukan pemilu." Setiap orang yang tertarik untuk mendidik dirinya sendiri dan mau mengetahui lebih banyak tentang ketidakadilan dan inefisiensi yang berasal dari demokrasi juga harus membaca buku-buku Hoppe dan Buchanan tersebut. Tentu saja, Murray N. Rothbard dan banyak penulis libertarian lainnya juga harus dipelajari oleh pembaca karena beberapa konsep yang disebutkan atau tersirat dalam buku ini tidak dijelaskan. Konsep-konsep ini tidak dijelaskan karena mereka tidak secara langsung berhubungan dengan demokrasi, - misalnya uang fiat (“fiat money”), inflasi, fungsi bank sentral, pengeluaran defisit (“deficit spending”), Keynesianisme, Teori Siklus Bisnis Austria (“Austrian Business Cycle Theory”), standar emas (“gold standard”) - tetapi merupakan aspek-aspek penting dari sistem politik-ekonomi kita dan seharusnya juga dipelajari oleh pembaca.
Saya ingin mengakhiri pengantar ini dengan komentar pribadi. Saya ingin berterima kasih kepada Frank Karsten yang mengizinkan saya untuk menulis kata pengantar untuk versi Bahasa Indonesia ini dan dua pembaca Indonesia Bonar Armando dan Diantini Ida Viatrie yang membantu saya dengan terjemahan. Tanpa mereka versi Indonesia tidak pernah akan berhasil seperti ini. Kami berharap bahwa banyak masyarakat Indonesia akan menikmati membaca buku ini dan akan cukup berani untuk menggunakannya untuk mendidik orang lain tentang cara mencapai kebebasan dan kemakmuran sejati.