Tersedia dalam bahasa-bahasa berikut ini:
English edition Dutch edition German edition Polish edition Italian edition Brazilian edition French edition Serbian edition Swedish edition Indonesian edition Ukrainian edition Spanish edition Albanian edition Hungarian edition Macedonian edition Slovenian edition Chinese edition Russian edition Finnish edition Slovak edition
"Sudah membacanya. Luar biasa. Hebat. Selamat."
Hans-Hermann Hoppe, penulis 'Demokrasi: Tuhan yang Gagal'

Mitos 3: Mayoritas selalu benar





Atas penjelasan ini, untuk sejenak mari kita anggap bahwa rakyat benar-benar memerintah dalam demokrasi dan bahwa setiap suara benar-benar diperhitungkan. Akankah proses ini secara otomatis menghasilkan sesuatu yang baik atau benar? Bukankah ini merupakan alasan mengapa kita memiliki sebuah demokrasi - agar kita melakukan hal yang benar? Tapi sulit untuk melihat mengapa atau bagaimana proses demokrasi tentu akan menyebabkan adanya hasil yang baik atau benar. Jika banyak orang yang percaya kepada sesuatu, kepercayaan itu tidak membuat hal yang dipercaya tersebut benar. Ada banyak contoh di masa lalu tentang khayalan kolektif ini. Misalnya, dulu orang berpikir bahwa hewan mati rasa (tidak bisa merasakan sakit/nyeri) atau bahwa bumi kita datar, atau bahwa raja atau sultan adalah wakil Tuhan di bumi.

Juga tidak tepat untuk mengatakan sesuatu menjadi moral dan adil karena banyak orang yang mendukungnya. Pikirkanlah semua kejahatan kolektif yang telah dilakukan oleh orang-orang di masa lalu. Kekejian seperti perbudakan atau penganiayaan terhadap orang-orang Yahudi pernah dianggap pantas oleh kebanyakan orang.

Kenyataannya adalah orang biasanya dipandu oleh kepentingan pribadinya dalam memilih. Mereka memilih partai politik yang mereka harapkan akan paling menguntungkan mereka. Mereka tahu bahwa keuntungan yang mereka terima biayanya akan ditanggung oleh semua orang.  Apakah ini adil atau merupakan sesuatu yang diinginkan? Kebenaran yang memalukan adalah bahwa orang-orang kemungkinan besar mendukung demokrasi karena mereka berharap atau mengharapkan untuk jadi bagian dari mayoritas, sehingga mereka bisa mendapatkan keuntungan dari menjarah kekayaan kaum minoritas. Mereka berharap bahwa beban mereka akan dibagi oleh orang lain dan keuntungan yang mereka dapatkan akan dibayar oleh orang lain. Perilaku tersebut agaknya merupakan kebalikan dari sesuatu yang moral.

Apakah kami melebih-lebihkan? Jika Anda dan teman Anda merampok seseorang di jalan, Anda akan dihukum. Jika kaum mayoritas mensahkan hukum untuk merampok kaum minoritas (pajak baru pada alkohol atau rokok misalnya), itu adalah keputusan yang demokratis dan dengan demikian itu adalah hukum. Tapi apa bedanya dengan perampokan jalanan?

Ketika Anda berpikir tentang hal ini, Anda harus menyimpulkan bahwa mekanisme dasar demokrasi - fakta bahwa mayoritas yang memerintah - pada dasarnya adalah tidak bermoral. Dalam demokrasi, kehendak mayoritas lebih penting dari pertimbangan moral. Kuantitas mengalahkan kualitas – banyaknya jumlah orang-orang yang menginginkan sesuatu mengesampingkan pertimbangan moral dan rasional.

Auberon Herbert seorang politisi dan penulis dari Inggris di abad ke-19 berpendapat mengenai logika dan moralitas demokrasi:

"Lima orang berada di sebuah ruangan. Karena tiga orang punya pendapat yang sama dan dua punya pendapat yang lain, apakah tiga orang pertama ini memiliki hak moral untuk memaksa dua orang lainnya untuk setuju dan mengikuti pendapat mereka?

Kekuatan gaib apa yang datang kepada ketiga orang itu sehingga walaupun hanya lebih banyak satu orang tapi mereka bisa memiliki hak untuk mengatur pikiran dan tubuh dari dua orang lainnya tersebut.

Selama kelompok pertama seimbang dengan yang kedua kita masih dapat menganggap setiap orang memiliki kuasa atas pikirannya dan tubuhnya sendiri, tetapi ketika seseorang entah karena alasan apa bergabung dengan salah satu pihak dan menjadikannya tiga lawan dua – ketiga orang ini (mayoritas) langsung memiliki kuasa atas tubuh dan pikiran pihak minoritas (dua orang lainnya). Apakah pernah ada kepercayaan yang begitu merendahkan dan tidak dapat dipertahankan seperti ini? Bukankah ini merupakan turunan langsung dari kepercayaan lama mengenai raja dan imam tinggi dan otoritas mereka atas tubuh dan jiwa seseorang.“