Mitos 8: Demokrasi sangat diperlukan untuk rasa kebersamaan masyarakat
Dalam sebuah demokrasi, setiap perbedaan pendapat akan mengarah kepada sebuah perjuangan untuk mendapat kekuasaan dan sumber daya, kelompok yang satu mendapat keuntungan dengan mengorbankan kelompok lain. Semua orang membuat tuntutan pada Negara dan Negara memaksa orang lain untuk memenuhi tuntutan itu. Ini terjadi hampir secara otomatis, karena negara memang adalah instrumen kekuasaan yang beroperasi dengan paksaan.
Hasilnya rakyat menjadi manja, semakin banyak tuntutan mereka kepada penguasanya dan mereka akan mengeluh jika mereka tidak mendapatkan apa yang dimintanya. Pada saat yang sama mereka tidak memiliki banyak pilihan selain untuk terlibat di dalam sistem ini, karena jika mereka tidak ikut serta, mereka akan diperas oleh penduduk lain yang terlibat di dalamnya. Dengan cara ini sistem demokrasi merongrong kemandirian rakyat dan kemampuan mereka untuk mencari rejeki sendiri. Yang lebih parah lagi, sistem ini merusak kesediaan orang untuk mau membantu orang lain, karena mereka sudah terus-menerus dipaksa untuk 'membantu' orang lain.
Kini mentalitas rakyat telah menjadi begitu 'didemokratisasi' sehingga mereka bahkan tidak menyadari lagi betapa antisosialnya tindakan dan ide-ide mereka sebenarnya. Kini siapa saja yang ingin memulai sebuah klub olahraga, acara budaya, pusat penitipan anak, sebuah organisasi lingkungan, dan sebagainya, akan mencoba untuk mendapatkan beberapa jenis subsidi dari pemerintah lokal atau nasional. Dengan kata lain, mereka ingin orang lain untuk membiayai hobi mereka. Ini sebenarnya juga masuk akal karena jika Anda tidak ikut bermain game ini, Anda harus membayar untuk hobi orang lain dan Anda tidak akan mendapatkan imbalan apapun. Namun sistem ini hampir tidak ada hubungannya dengan ide bahwa ‘masyarakat merupakan sebuah keluarga besar’ yang sering dianggap sebagai bagian dari demokrasi. Lebih tepatnya sistem ini menggambarkan perjuangan kelangsungan hidup (‘survival of the fittest’) dalam kompetisi penjarahan pajak.
Ludwig Erhard, mantan Kepala Pemerintahan Jerman dan arsitek utama dari keajaiban ekonomi Jerman pascaperang, mengakui masalah demokrasi ini. "Bagaimana kita bisa terus memastikan kemajuan jika kita semakin mengadopsi gaya hidup di mana tidak ada yang bersedia untuk bertanggung jawab untuk diri mereka sendiri dan semua orang mencari keselamatan dalam kolektivisme?" dia bertanya. "Jika kegilaan ini terus berlanjut, masyarakat kita akan berubah menjadi suatu sistem sosial di mana setiap orang menaruh tangannya di saku orang lain."
Namun, ada yang akan bertanya, bukankah kita akan kehilangan rasa persatuan nasional jika kita tidak memutuskan segala sesuatu secara 'bersama-sama'? Tidak diragukan bahwa negara adalah, dalam arti tertentu, sebuah komunitas. Tidak ada yang salah dengan itu - bahkan itu bisa menjadi hal yang baik. Memang kebanyakan orang bukanlah tipe penyendiri. Mereka membutuhkan persahabatan dan mereka juga saling membutuhkan karena alasan ekonomi.
Tapi pertanyaannya adalah: apakah demokrasi adalah hal yang penting untuk perasaan persatuan ini? Sulit untuk mengiyakan pertanyaan tersebut. Ketika Anda berbicara tentang sebuah komunitas, Anda berbicara tentang adanya lebih dari satu sistem politik. Rakyat berbagi satu sama lain, baik itu budaya, bahasa dan sejarah. Setiap negara memiliki pahlawan nasional, selebriti dan bintang olahraga, juga sastra, nilai-nilai budaya, etos kerja dan gaya hidup. Semua ini tidak terkait dengan sistem demokrasi. Semuanya sudah ada sebelum demokrasi dan tidak ada alasan hal tersebut akan berhenti tanpa demokrasi.
Tetap saja tidak ada negara yang memiliki budaya yang benar-benar seragam. Dalam setiap negara ada perbedaan besar antara para penduduknya. Ada banyak komunitas kedaerahan dan etnis yang ikatan kebersamaannya kuat. Dan tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Dalam kerangka masyarakat bebas semua struktur sosial dan komitmen yang ada dapat hidup berdampingan. Titik utama yang harus disadari adalah bahwa semua komunitas tersebut sukarela. Mereka tidak didirikan dengan paksa oleh Negara, yang juga mustahil, karena budaya-budaya dan komunitas-komunitas tersebut adalah ‘entitas organik’ (yang muncul dengan sendirinya). Komunitas sukarela tidak dapat dipertahankan dengan kekuatan dan paksaaan dari pemerintah, dan mereka tidak terkait dengan pemilu.
Perbedaaan komunitas-komunitas sosial ini dengan demokrasi adalah bahwa demokrasi adalah sebuah organisasi yang keanggotaannya wajib. Sedangkan sebuah komunitas yang sejati didasarkan pada partisipasi yang sukarela. Komunitas itu tentu saja dapat memiliki aturan 'demokratis’. Para anggota klub tenis dapat memutuskan untuk memilih ketua mereka dan seberapa tinggi biaya keanggotaannya, dan sebagainya. Tidak ada yang salah dengan hal itu. Ini adalah asosiasi swasta yang anggotanya bebas untuk bergabung atau tidak. Jika dia tidak menyukai peraturan klub itu dia dapat bergabung dengan klub lain atau memulai sebuah klub baru sendiri. Sifat sukarela memastikan pengelolaan yang cenderung berjalan dengan baik. Jika, misalkan, dewannya melakukan nepotisme dan pilih kasih, banyak anggota yang akan meninggalkannya. Namun dalam sistem demokrasi kita saat ini Anda tidak memiliki pilihan untuk meninggalkan klub. Demokrasi adalah wajib.
Kadang-kadang orang mengatakan "Love it or leave it" (cintai atau tinggalkan) ketika mereka berbicara tentang negara mereka. Itu menyiratkan bahwa negara adalah milik negara, kepada kolektif, dan bahwa semua orang yang kebetulan dilahirkan di dalamnya, didefinisikan, sebagai warga Negara. Meskipun rakyat tidak pernah diberi pilihan.
Jika seseorang di Sisilia diperas oleh Mafia, tidak ada yang mengatakan, "cintai atau tinggalkan.” Jika sebuah negara memenjarakan seorang homoseksual, orang tidak akan mengatakan, "mereka tidak memiliki alasan untuk mengeluh, karena jika mereka tidak suka dengan aturannya mereka harusnya pindah ke negara lain.” Sama seperti Sisilia yang tidak seluruhnya dimiliki oleh Mafia, demikian pula AS (atau negara apapun) tidak dimiliki oleh kaum mayoritas atau pemerintah. Setiap orang memiliki kehidupannya sendiri dan tidak harus melakukan apa yang diinginkan oleh mayoritas. Semua orang berhak untuk melakukan apa yang mereka inginkan dengan hidup mereka selama mereka tidak merugikan orang lain melalui kekerasan, pencurian atau penipuan. Sebagian besar dari hak yang seharusnya mereka miliki ini ditolak oleh demokrasi parlementer nasional kita.